Minggu, 24 Mei 2015

Pelanggaaran Etika Tentang Kekerasan Pendidikan Terhadap Anak

Beberapa ahli pendidikan  banyak yang mengartikan pengertian pendidikan. Pengertian-pengertian yang diberikan cukup beragam ,sehingga terjadi perbedaan tergantung dari sudut dan perspektif mana tokoh itu memandangnya. Walaupun terdapat perbedaan pendapat tentang apa itu  pendidikan, namun secara umum terdapat kesamaan di dalam merumuskan pengertian pendidikan tersebut. 

Secara etimologi kata pendidikan berasal dari kata "didik" yang mendapat  awalan "pe" dan akhiran "an" , maka jadilah kata pendidikan . 

Dari Bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata ”pedagogi” yaitu  kata ”paid”  yang artinya anak dan ”agogos” yang artinya membimbing,  sehingga pedagogi dapat diartikan sebagai ”ilmu dan seni membimbing anak

Pendidikan adalah jiwa masyarakat saat berpindah dari satu generasi ke generasi yang lain. ~ G. K. Chesterton
Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional,  pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana  belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif  mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual  keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta  ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Kekerasan adalah tindakan agresi dan pelanggaran yang menyebabkan penderitaan dan menyakiti orang lain (Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian, tekanan fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.
Kekerasan kini terjadi di mana-mana, bahkan di lingkungan yang dianggap aman sekalipun. Korbannya dari berbagai usia, tidak terkecuali anak-anak. Belakangan ini, pemberitaan di televisi banyak mengangkat topik kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, tempat yang seharusnya dapat membuat orangtua merasa tenang menitipkan anaknya menempuh pendidikan. Sekolah dengan tingkat pengamanan yang ketat pun tidak menjamin anak terhindar dari kekerasan.
Berbicara mengenai kekerasan, Anda mungkin mengira kekerasan sebatas memukul atau melukai tubuh orang lain. Namun, kekerasan tidak sesempit itu. Seperti yang dirumuskan dalam world report on violence and health (WRVH), menyebutkan kekerasan sebagai penggunaan kekuatan fisik atau ancaman secara sengaja kepada diri sendiri, orang lain, maupun kelompok yang mengakibatkan cedera, kematian, gangguan psikis atau trauma, gangguan perkembangan, ataupun deprivasi. Sedangkan kekerasan menurut American Psychological Association (APA) adalah bentuk ekstrim dari agresi, seperti penyerangan, pemerkosaan, atau pembunuhan.
Jenis-jenis Kekerasan yang Sering Diterima  Anak
1.Kekerasan Fisik
   Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal
 2. Kekerasan secara Verbal
     Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
     Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
 4. Kekerasan secara seksual
 Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.

Contoh kasus yang biasa terjadi :
Seorang anak menjadi salah satu korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh wali kelasnya. Konon katanya, sang guru sudah kewalahan dengan tingkah laku sang murid yang tak bisa diatur dan selalu melanggar aturan. Tindak kekerasan pun dinilai sebagai salah satu cara yang bisa membuat anak didiknya berubah. Berhasilkah? Nyatanya, sang guru tersebut malah masuk penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Kasus lain, seorang guru tega melakukan tindakan amoral kepada anak didiknya hanya karena sang anak didik sering terlambat. Padahal, guru tersebut dikenal sebagai orang yang sabar dan baik. Orangtua si anak tak terima dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib. Alhasil, sang guru harus merasakan dinginnya hotel prodeo karena kekhilafannya.
Kejadian di atas merupakan dua contoh kasus di antara berbagai macam kasus yang sering kita jumpai akhir-akhir ini. Penyiksaan terhadap anak didik yang dilakukan oleh pihak yang ditinggikan oleh masyarakat dan berpendidikan, yaitu guru.
Tindakan guru tersebut bagaimana pun juga jelas melanggar hukum. Seorang guru seharusnya mengerti etika pendidikan. Bagaimana pun juga, kekerasan tidak bisa menyelesaikan masalah dan malah memperparah.
Sekarang, bukan zamannya lagi “penyiksaan” terhadap anak didik bila mereka tak menurut terhadap perintah guru. Guru bukanlah segalanya dan bukanlah “Tuhan” bagi murid. Bila dulu melakukan tindak kekerasan terhadap murid karena tidak mengerjakan PR dianggap wajar, namun sekarang berbeda. Sedikit saja seorang guru melukai murid secara fisik, maka guru tersebut bisa dituntut dan masuk penjara.
Seorang guru haruslah mengerti tentang etika pendidikan. Tugas mereka tak hanya mengisi “bak yang kosong dengan air”, namun juga membentuk kepribadian anak didik yang baik. Dan, bagaimana mungkin seorang guru bisa membentuk kepribadian anak yang baik bila mereka sendiri suka melakukan tindak kekerasan dengan alasan untuk mendidik. Sama saja hal tersebut melanggar etika pendidikan.
Mendidik tidak harus dengan kekerasan. Itulah salah satu etika pendidikan yang wajib dipahami oleh semua guru. Ingatlah bahwa anak didik bukanlah komputer atau mesin yang bila kita kesal bisa dibanting sepuasnya. Anak didik adalah amanah bagi seorang guru. Anak didik adalah “titipan” yang sudah selayaknya dijaga. Bila ada sesuatu yang membuat guru tersinggung dan marah dengan ulah anak didiknya, selesaikanlah dengan baik-baik dan tidak dengan menggunakan kekerasan karena hal tersebut sangat melanggar etika pendidikan.
Seorang guru haruslah memandang seorang anak didik sebagai sebuah aset yang harus dilindungi dan bukan “dieksploitasi”. Bila dalam proses belajar mengajar ada sesuatu yang kurang baik di antara guru dan anak didik, sudah seharusnya hal tersebut diselesaikan dengan cara yang baik.
Berikut ini adalah beberapa moral yang paling umum, masalah hukum dan etika dalam pendidikan yang paling sering dihadapi oleh para pemberi dan penerima pendidikan, bersama dengan lembaga pendidikan sendiri, para stock holder, orang tua dan wali siswa.
1. Seragam Sekolah - Haruskah dilepaskan atau malah semakin wajib? Argumen yang mendukung adana seragam selalu mengamati kepentingan dari dress code / seragam untuk menyatukan siswa dan tidak membedakan diri mereka satu dengan yang lainnya.
Keseragaman bukan berarti kiamat bila masuk ke wilayah pendidikan, lebih dari itu dengan berseragam bisa memberikan semacam semangat korps, di kalangan siswa, dan membuat mereka menghargai kebersamaan kelompok prestasi satu dengan yang lainnya.
Karena apabila tidak diseragamkan apalagi zaman sekarang maka ada kecenderungan anak berlaku tidak sopan dari busana, pakaian provokatif atau terlalu santai, warna rambut dan gaya keterlaluan, mereka pada akhirnya akan berkelompok untuk sesuatu yang sama sekali jauh dari semangat pendidikan, yakni berpikir kelompok sektarian.
Tidak ada jalan tengah untuk hal ini, jika baju di bebaskan, masalah etika bakal menjadi debat panjang. Toh dengan memakai nama dan bendera berbeda dari setiap sekolah saja, anak anak lantas cenderung tawuran.
2. Masalah Disiplin: anak mamu menjadi agresif pada masa pertumbuhan, namun mudah pula jatuh pada semacam ritual narsistik yang mampu menghadirkan mereka sebagai orang yang paling hebat di antara teman temannya. Bila guru tidak mampu menghadirkan sarana untuk kenarsisan siswa untuk berprestasi, siap siap saja menuai murid yang tidak disiplin.
Apalagi guru sendiri berada dalam hidup yang sulit dalam kondisi untuk berprestasi, mengingat di kalangan guru masih saja ada nilai penghargaan yang rendah secara finansial oleh negara dan bangsanya sendiri. Nasib guru di Indonesia jauh dari rasa keadilan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk mengajarkan prestasi.
3. Mengatasi Diversity: Kebhinekaan.. inilah masalah etika yang akan dihadapi di sekolah. Negara ini negara bhineka, namun masyarakat malah mengajarkan kerusakan pada kesatuan. Lalu apa yang tersisa untuk di ajarkan pada siswa.
Dengan siswa dari latar sosial dan etnis berbeda maka penerimaan di sekolah-sekolah saat ini, masalah mereka siap berbeda? atau tidak? untuk mengatasi keragaman akhirnya muncul pertanyaan serius. Ketidaksetaraan rasial dan perbedaan etnis telah menjadi masalah di sekolah umum sejak zaman sekolah umum didirikan. Pembedaan pada minoritas, yang china, yang papua, yang keling, yang putih, yang muslim, yang kristen, yang budha, merupaka masalah serius. Karena mereka calon pemegang estafet republik, dan orang jahat tidak tinggal diam melihat kesempatan emas memecah belah Indoensia,
Langkah utama untuk menangani keragaman di sekolah harus datang dari kurikulum itu sendiri. Harus ada festival multikultural di sekolah akan menandai awal dari upaya untuk menggabungkan siswa dari berbagai latar belakang ke dalam ikatan kesatuan kelembagaan.
Selain itu, masukan sejarah terkemuka yang berasal dari etnis yang berbeda sebagai bagian dari studi kolektif sejarah nasional akan mendorong siswa untuk membiasakan diri dengan perbedaan satu sama lain ‘ras, budaya dan etnis. Daripada membiarkan keragaman datang di jalan pendidikan, pentingnya keanekaragaman harus ditegakkan.
4. Grading - Menghubungkan Parameter dengan tujuan : dan satu hal Ujian nasional?
Apakah nilai mencerminkan hasil? Sebaliknya, apa yang yang harus mencerminkan nilai? Haruskah anak terikat oleh gagasan akademisi? Kemudian lagi, apa, di bidang apa mereka harus mencerminkan prestasi ? Haruskah nilai dipertimbangkan untuk menilai kemampuan belajar, informasi menggenggam kecakapan, disiplin dalam memenuhi tenggat waktu akademis?
Negara bisa jadi pesakitan, dan bisa jadi penyelamat bila mampu menjawab pertanyaan itu, dan sejauh ini, negara gagal memberikan pendidikan etis yang baik dengan menjawab pertanyaan sebaik baiknya. Ujian nasional dipaksakan ada, karena itu adalah proyek dan semata proyeknya para akademisi yang berpangkat, semua mengerti itu.
Selain masalah etika pendidikan tersebut, ada masalah lain yang patut dicatat
 1.evaluasi guru,
2. pendidikan seks,
3.pendidikan nilai,
4. pelacakan dan tes narkoba, bahkan yang lebih gila tes keperawanan. Tindakan gila yang sangat merendahkan perempuan, dan menjadikan murid hancur sebelum berkembang.
Solusi dalam mengatasi kekerasan :
Pemasangan CCTV
Menurut Ariyani Na, pihak sekolah perlu memasang CCTV di seluruh sekolah untuk memantau kegiatan para siswa. Ini bisa jadi sebuah solusi yang cukup mahal dan membutuhkan dana lebih, selain untuk pemasangan, pihak sekolah juga membutuhkan orang yang bisa memantau CCTV tersebut. Satpam dan guru dapat melakukan pemantauan secara bergantian. Dengan demikian, pihak sekolah dapat memantau beberapa lokasi pada saat yang bersamaan.
Pendidikan Budi Pekerti
Sedangkan menurut  Gunadi PG, pendidikan budi pekerti adalah salah satu solusi untuk mencegah krisis moral yang melanda di kalangan generasi penerus. Seperti yang kita ketahui, pendidikan budi pekerti masih belum merata dan masih belum benar-benar menjadi mata pelajaran wajib di semua sekolah walau telah dicanangkan sejak tahun 1994.
Ada pun, secara psikologis, didikan dan perilaku keluarga, peran lembaga penyedia pendidikan, sampai tontonan televisi dapat mempengaruhi sikap, pola pikir, dan tindakan siswa.
Didikan dan Perilaku Keluarga
, dari posisi pihak keluarga, pola asuh yang berlebihan seperti terlalu memanjakan dan hanya memenuhi kebutuhan anak secara materi, dapat memicu sifat suka menganiaya/melakukan kekerasan. Kita perlu memperhatikan anak kita, namun bukan berarti memanjakannya secara berlebihan.
Atau kebiasaan orang tua yang suka bertengkar di depan anak-anaknya dapat memicu anak berperilaku atau bersikap kasar. Karena anak yang menyaksikan pertengkaran tersebut akan beranggapan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar. Seperti contoh video berikut ini, bagaimana perilaku orang tua sangat mempengaruhi perilaku seorang anak.
Memaksimalkan Peran Sekolah
Dari kacamata pendidik, menurut  Eddy Roesdiono  sekolah harus memiliki fungsi kontrol sosial, di mana sekolah memiliki assessment (penilaian) terhadap perilaku anak.
Sekolah juga harus menggagas aktivitas-aktivitas internal sekolah yang bersifat positif, memfasilitasi aktivitas orang tua siswa dan siswa minimal setahun sekali seperti yang diterapkan oleh sekolah-sekolah di Jepang. Sekolah juga bisa membentuk petugas “breaktime watch” dari kalangan pengurus sekolah yang bertugas untuk berkeliling dan memantau kegiatan siswa.
Pembekalan Ilmu Beladiri
Pembekalan ilmu bela diri pun dapat menjadi salah satu solusi  selain mengajarkan kepada anak mengenai displin dan membentuk mental juga jasmani yang kuat, bela diri juga dapat digunakan untuk membela diri sendiri dari ancaman-ancaman yang ada. Namun, tetap harus diberikan pengarahan bahwa ilmu bela diri dipelajari bukan untuk melakukan kekerasan.
Mengawasi Tontonan Anak
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah apa yang ditonton oleh anak.  Menurut beberapa kompasianer, tayangan televisi yang mengumbar kekerasan dan tidak mendidik hanya demi mengejar rating serta pemasukan iklan, turut serta dalam pembentukan mental dan sikap anak.
Karena anak seringkali mencontoh apa yang mereka dengar dan lihat, sehingga televisi sebagai salah satu media hiburan selayaknya lebih memperhatikan dan memilah tayangan serta jam tayang. Walau telah diberi rating dalam setiap tayangan, namun pada jam-jam sibuk, tidak semua orang tua dapat menemani anaknya dalam menonton acara/tayangan televisi.
Orang tua pun harus mau peduli, mencari tahu dan turut mengawasi tayangan yang ditonton oleh anak-anaknya.
Sudah saatnya, kita saling bergandengan tangan dan bersama-sama menjalankan fungsi kita sebagaimana mestinya untuk mencegah kekerasan dalam ranah pendidikan, bukan hanya saling menyalahkan dan diam dalam keprihatinan. Kesuksesan sebuah rencana bisa terwujud, jika semua pihak sadar terhadap perannya dan mau peduli, serta bertindak. Moral harus mulai ditanam dari diri kita sendiri dan diajarkan kepada anak-anak kita. Pendidikan budi pekerti hanyalah sebuah mediasi, namun penerapannya perlu sebuah kesadaran dan kemauan.
Solusi dari Kelompok Kami :
1.Para pendidik dalam hal ini guru,dosen,ataupun orang tua dapat menjalin komunikasi yang harmonis ,
2.Melibatkan pendidik dan yang didik dalam suatu kegiatan perlombaan atau kegiatan-kegiatan refresh guna  memperkuat ikatan emosional bahwa diantara pendidik dan yang terdidik saling membutuhkan satu sama lain
3.Perlunya didirikan badan-badan pengawasan guru di setiap sekolah guna meminimalisir tindakan seorang pendidik yang tak bisa terkontrol emosinya.

sumber:
http://srahmahf.blogspot.com/2013/12/lunturnya-moral-dan-etika-di-indonesia.html
http://www.academia.edu/5863303/Kumpulan_Contoh_Judul_Artikel_dan_Makalah_Pendidikan_Kesehatan_dan_Psikologi

www.ibudanmama.com/pola-asuh/kekerasan-yang-terjadi-di-sekolah/

http://sanggurukdb.blogspot.com/2014/02/pengertian-pendidikan-menurut-para-ahli.html



Tidak ada komentar: