Beberapa ahli
pendidikan banyak yang mengartikan pengertian pendidikan.
Pengertian-pengertian yang diberikan cukup beragam ,sehingga terjadi perbedaan
tergantung dari sudut dan perspektif mana tokoh itu memandangnya. Walaupun
terdapat perbedaan pendapat tentang apa itu pendidikan, namun secara umum
terdapat kesamaan di dalam merumuskan pengertian pendidikan tersebut.
Secara etimologi kata pendidikan berasal dari kata "didik" yang
mendapat awalan "pe" dan akhiran "an" , maka jadilah
kata pendidikan .
Dari Bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata ”pedagogi” yaitu
kata ”paid” yang artinya anak dan ”agogos” yang artinya
membimbing, sehingga pedagogi dapat diartikan sebagai ”ilmu dan seni
membimbing anak
Pendidikan
adalah jiwa masyarakat saat berpindah dari satu generasi ke generasi yang lain.
~ G. K. Chesterton
Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan
nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.
Kekerasan
adalah tindakan agresi dan pelanggaran yang menyebabkan penderitaan dan
menyakiti orang lain (Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa
mengakibatkan luka dan kerugian, tekanan fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan
kesehatan dan mental.
Kekerasan
kini terjadi di mana-mana, bahkan di lingkungan yang dianggap aman sekalipun.
Korbannya dari berbagai usia, tidak terkecuali anak-anak. Belakangan ini,
pemberitaan di televisi banyak mengangkat topik kekerasan yang terjadi di
lingkungan sekolah, tempat yang seharusnya dapat membuat orangtua merasa tenang
menitipkan anaknya menempuh pendidikan. Sekolah dengan tingkat pengamanan yang
ketat pun tidak menjamin anak terhindar dari kekerasan.
Berbicara
mengenai kekerasan, Anda mungkin mengira kekerasan sebatas memukul atau melukai
tubuh orang lain. Namun, kekerasan tidak sesempit itu. Seperti yang dirumuskan
dalam world
report on violence and health (WRVH),
menyebutkan kekerasan sebagai penggunaan kekuatan fisik atau ancaman secara
sengaja kepada diri sendiri, orang lain, maupun kelompok yang mengakibatkan
cedera, kematian, gangguan psikis atau trauma, gangguan perkembangan, ataupun
deprivasi. Sedangkan kekerasan menurut American Psychological Association (APA)
adalah bentuk ekstrim dari agresi, seperti penyerangan, pemerkosaan, atau
pembunuhan.
Jenis-jenis Kekerasan yang Sering Diterima Anak
1.Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui
karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse:
persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun
(16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas
ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain
menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal
2. Kekerasan
secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan
dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini
biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti
ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak
menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak
terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal.
Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang
membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan
hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya
menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi
pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4. Kekerasan
secara seksual
Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun
pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam,
juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Contoh
kasus yang biasa terjadi :
Seorang anak
menjadi salah satu korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh wali kelasnya.
Konon katanya, sang guru sudah kewalahan dengan tingkah laku sang murid yang
tak bisa diatur dan selalu melanggar aturan. Tindak kekerasan pun dinilai
sebagai salah satu cara yang bisa membuat anak didiknya berubah. Berhasilkah?
Nyatanya, sang guru tersebut malah masuk penjara untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Kasus lain,
seorang guru tega melakukan tindakan amoral kepada anak didiknya hanya karena
sang anak didik sering terlambat. Padahal, guru tersebut dikenal sebagai orang
yang sabar dan baik. Orangtua si anak tak terima dan melaporkan kejadian
tersebut ke pihak yang berwajib. Alhasil, sang guru harus merasakan dinginnya
hotel prodeo karena kekhilafannya.
Kejadian di
atas merupakan dua contoh kasus di antara berbagai macam kasus yang sering kita
jumpai akhir-akhir ini. Penyiksaan terhadap anak didik yang dilakukan oleh
pihak yang ditinggikan oleh masyarakat dan berpendidikan, yaitu guru.
Tindakan guru
tersebut bagaimana pun juga jelas melanggar hukum. Seorang guru seharusnya
mengerti etika pendidikan. Bagaimana pun juga, kekerasan tidak bisa
menyelesaikan masalah dan malah memperparah.
Sekarang, bukan
zamannya lagi “penyiksaan” terhadap anak didik bila mereka tak menurut terhadap
perintah guru. Guru bukanlah segalanya dan bukanlah “Tuhan” bagi murid. Bila
dulu melakukan tindak kekerasan terhadap murid karena tidak mengerjakan PR
dianggap wajar, namun sekarang berbeda. Sedikit saja seorang guru melukai murid
secara fisik, maka guru tersebut bisa dituntut dan masuk penjara.
Seorang guru
haruslah mengerti tentang etika pendidikan. Tugas mereka tak hanya mengisi “bak
yang kosong dengan air”, namun juga membentuk kepribadian anak didik yang baik.
Dan, bagaimana mungkin seorang guru bisa membentuk kepribadian anak yang baik
bila mereka sendiri suka melakukan tindak kekerasan dengan alasan untuk
mendidik. Sama saja hal tersebut melanggar etika pendidikan.
Mendidik tidak
harus dengan kekerasan. Itulah salah satu etika pendidikan yang wajib dipahami
oleh semua guru. Ingatlah bahwa anak didik bukanlah komputer atau mesin yang
bila kita kesal bisa dibanting sepuasnya. Anak didik adalah amanah bagi seorang
guru. Anak didik adalah “titipan” yang sudah selayaknya dijaga. Bila ada
sesuatu yang membuat guru tersinggung dan marah dengan ulah anak didiknya,
selesaikanlah dengan baik-baik dan tidak dengan menggunakan kekerasan karena
hal tersebut sangat melanggar etika pendidikan.
Seorang guru
haruslah memandang seorang anak didik sebagai sebuah aset yang harus dilindungi
dan bukan “dieksploitasi”. Bila dalam proses belajar mengajar ada sesuatu yang
kurang baik di antara guru dan anak didik, sudah seharusnya hal tersebut
diselesaikan dengan cara yang baik.
Berikut ini
adalah beberapa moral yang paling umum, masalah hukum dan etika dalam
pendidikan yang paling sering dihadapi oleh para pemberi dan penerima
pendidikan, bersama dengan lembaga pendidikan sendiri, para stock holder, orang
tua dan wali siswa.
1. Seragam
Sekolah - Haruskah dilepaskan atau malah semakin wajib? Argumen yang mendukung
adana seragam selalu mengamati kepentingan dari dress code / seragam untuk
menyatukan siswa dan tidak membedakan diri mereka satu dengan yang lainnya.
Keseragaman
bukan berarti kiamat bila masuk ke wilayah pendidikan, lebih dari itu dengan
berseragam bisa memberikan semacam semangat korps, di kalangan siswa, dan
membuat mereka menghargai kebersamaan kelompok prestasi satu dengan yang
lainnya.
Karena apabila
tidak diseragamkan apalagi zaman sekarang maka ada kecenderungan anak berlaku
tidak sopan dari busana, pakaian provokatif atau terlalu santai, warna rambut
dan gaya keterlaluan, mereka pada akhirnya akan berkelompok untuk sesuatu yang
sama sekali jauh dari semangat pendidikan, yakni berpikir kelompok sektarian.
Tidak ada jalan
tengah untuk hal ini, jika baju di bebaskan, masalah etika bakal menjadi debat
panjang. Toh dengan memakai nama dan bendera berbeda dari setiap sekolah saja,
anak anak lantas cenderung tawuran.
2. Masalah
Disiplin: anak mamu menjadi agresif pada masa pertumbuhan, namun mudah pula
jatuh pada semacam ritual narsistik yang mampu menghadirkan mereka sebagai
orang yang paling hebat di antara teman temannya. Bila guru tidak mampu
menghadirkan sarana untuk kenarsisan siswa untuk berprestasi, siap siap saja
menuai murid yang tidak disiplin.
Apalagi guru
sendiri berada dalam hidup yang sulit dalam kondisi untuk berprestasi,
mengingat di kalangan guru masih saja ada nilai penghargaan yang rendah secara
finansial oleh negara dan bangsanya sendiri. Nasib guru di Indonesia jauh dari
rasa keadilan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk mengajarkan prestasi.
3. Mengatasi
Diversity: Kebhinekaan.. inilah masalah etika yang akan dihadapi di sekolah.
Negara ini negara bhineka, namun masyarakat malah mengajarkan kerusakan pada
kesatuan. Lalu apa yang tersisa untuk di ajarkan pada siswa.
Dengan siswa
dari latar sosial dan etnis berbeda maka penerimaan di sekolah-sekolah saat
ini, masalah mereka siap berbeda? atau tidak? untuk mengatasi keragaman
akhirnya muncul pertanyaan serius. Ketidaksetaraan rasial dan perbedaan etnis
telah menjadi masalah di sekolah umum sejak zaman sekolah umum didirikan.
Pembedaan pada minoritas, yang china, yang papua, yang keling, yang putih, yang
muslim, yang kristen, yang budha, merupaka masalah serius. Karena mereka calon
pemegang estafet republik, dan orang jahat tidak tinggal diam melihat
kesempatan emas memecah belah Indoensia,
Langkah utama
untuk menangani keragaman di sekolah harus datang dari kurikulum itu sendiri.
Harus ada festival multikultural di sekolah akan menandai awal dari upaya untuk
menggabungkan siswa dari berbagai latar belakang ke dalam ikatan kesatuan
kelembagaan.
Selain itu,
masukan sejarah terkemuka yang berasal dari etnis yang berbeda sebagai bagian
dari studi kolektif sejarah nasional akan mendorong siswa untuk membiasakan
diri dengan perbedaan satu sama lain ‘ras, budaya dan etnis. Daripada
membiarkan keragaman datang di jalan pendidikan, pentingnya keanekaragaman
harus ditegakkan.
4. Grading -
Menghubungkan Parameter dengan tujuan : dan satu hal Ujian nasional?
Apakah nilai
mencerminkan hasil? Sebaliknya, apa yang yang harus mencerminkan nilai?
Haruskah anak terikat oleh gagasan akademisi? Kemudian lagi, apa, di bidang apa
mereka harus mencerminkan prestasi ? Haruskah nilai dipertimbangkan untuk
menilai kemampuan belajar, informasi menggenggam kecakapan, disiplin dalam
memenuhi tenggat waktu akademis?
Negara bisa
jadi pesakitan, dan bisa jadi penyelamat bila mampu menjawab pertanyaan itu,
dan sejauh ini, negara gagal memberikan pendidikan etis yang baik dengan
menjawab pertanyaan sebaik baiknya. Ujian nasional dipaksakan ada, karena itu
adalah proyek dan semata proyeknya para akademisi yang berpangkat, semua
mengerti itu.
Selain masalah etika
pendidikan tersebut, ada masalah lain yang patut dicatat
1.evaluasi guru,
2. pendidikan
seks,
3.pendidikan
nilai,
4. pelacakan dan tes narkoba, bahkan yang lebih
gila tes keperawanan. Tindakan gila yang sangat merendahkan perempuan, dan
menjadikan murid hancur sebelum berkembang.
Solusi dalam mengatasi kekerasan :
Pemasangan CCTV
Menurut Ariyani Na, pihak sekolah perlu memasang
CCTV di seluruh sekolah untuk memantau kegiatan para siswa. Ini bisa
jadi sebuah solusi yang cukup mahal dan membutuhkan dana lebih, selain untuk
pemasangan, pihak sekolah juga membutuhkan orang yang bisa memantau CCTV
tersebut. Satpam dan guru dapat melakukan pemantauan secara bergantian. Dengan
demikian, pihak sekolah dapat memantau beberapa lokasi pada saat yang
bersamaan.
Pendidikan Budi Pekerti
Sedangkan menurut Gunadi PG, pendidikan budi pekerti
adalah salah satu solusi untuk mencegah krisis moral yang melanda di kalangan
generasi penerus. Seperti yang kita ketahui, pendidikan budi pekerti masih
belum merata dan masih belum benar-benar menjadi mata pelajaran wajib di semua
sekolah walau telah dicanangkan sejak tahun 1994.
Ada pun, secara psikologis, didikan dan perilaku keluarga, peran
lembaga penyedia pendidikan, sampai tontonan televisi dapat mempengaruhi sikap,
pola pikir, dan tindakan siswa.
Didikan dan Perilaku
Keluarga
, dari posisi pihak keluarga, pola asuh yang berlebihan seperti
terlalu memanjakan dan hanya memenuhi kebutuhan anak secara materi, dapat
memicu sifat suka menganiaya/melakukan kekerasan. Kita perlu memperhatikan anak
kita, namun bukan berarti memanjakannya secara berlebihan.
Atau kebiasaan orang tua yang suka bertengkar di depan anak-anaknya
dapat memicu anak berperilaku atau bersikap kasar. Karena anak yang menyaksikan
pertengkaran tersebut akan beranggapan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar.
Seperti contoh video berikut ini, bagaimana perilaku orang tua sangat
mempengaruhi perilaku seorang anak.
Memaksimalkan Peran Sekolah
Dari kacamata pendidik, menurut Eddy Roesdiono sekolah harus memiliki fungsi kontrol sosial,
di mana sekolah memiliki assessment (penilaian) terhadap
perilaku anak.
Sekolah juga harus menggagas aktivitas-aktivitas internal sekolah
yang bersifat positif, memfasilitasi aktivitas orang tua siswa dan siswa
minimal setahun sekali seperti yang diterapkan oleh sekolah-sekolah di Jepang.
Sekolah juga bisa membentuk petugas “breaktime watch” dari kalangan
pengurus sekolah yang bertugas untuk berkeliling dan memantau kegiatan siswa.
Pembekalan Ilmu Beladiri
Pembekalan ilmu bela diri pun dapat menjadi salah satu solusi selain mengajarkan kepada anak mengenai
displin dan membentuk mental juga jasmani yang kuat, bela diri juga dapat
digunakan untuk membela diri sendiri dari ancaman-ancaman yang ada. Namun,
tetap harus diberikan pengarahan bahwa ilmu bela diri dipelajari bukan untuk
melakukan kekerasan.
Mengawasi Tontonan Anak
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah apa yang ditonton oleh
anak. Menurut beberapa kompasianer, tayangan televisi yang mengumbar
kekerasan dan tidak mendidik hanya demi mengejar rating serta pemasukan iklan,
turut serta dalam pembentukan mental dan sikap anak.
Karena anak seringkali mencontoh apa yang mereka dengar dan lihat,
sehingga televisi sebagai salah satu media hiburan selayaknya lebih
memperhatikan dan memilah tayangan serta jam tayang. Walau telah diberi rating
dalam setiap tayangan, namun pada jam-jam sibuk, tidak semua orang tua dapat
menemani anaknya dalam menonton acara/tayangan televisi.
Orang tua pun harus mau peduli, mencari tahu dan turut mengawasi
tayangan yang ditonton oleh anak-anaknya.
Sudah saatnya, kita saling bergandengan tangan dan bersama-sama
menjalankan fungsi kita sebagaimana mestinya untuk mencegah kekerasan dalam
ranah pendidikan, bukan hanya saling menyalahkan dan diam dalam keprihatinan.
Kesuksesan sebuah rencana bisa terwujud, jika semua pihak sadar terhadap
perannya dan mau peduli, serta bertindak. Moral harus mulai ditanam dari diri
kita sendiri dan diajarkan kepada anak-anak kita. Pendidikan budi pekerti
hanyalah sebuah mediasi, namun penerapannya perlu sebuah kesadaran dan kemauan.
Solusi dari Kelompok Kami :
1.Para pendidik dalam hal ini guru,dosen,ataupun orang tua dapat
menjalin komunikasi yang harmonis ,
2.Melibatkan
pendidik dan yang didik dalam suatu kegiatan perlombaan atau kegiatan-kegiatan
refresh guna memperkuat ikatan emosional
bahwa diantara pendidik dan yang terdidik saling membutuhkan satu sama lain
3.Perlunya
didirikan badan-badan pengawasan guru di setiap sekolah guna meminimalisir
tindakan seorang pendidik yang tak bisa terkontrol emosinya.
sumber:
http://srahmahf.blogspot.com/2013/12/lunturnya-moral-dan-etika-di-indonesia.html
http://www.academia.edu/5863303/Kumpulan_Contoh_Judul_Artikel_dan_Makalah_Pendidikan_Kesehatan_dan_Psikologi
www.ibudanmama.com/pola-asuh/kekerasan-yang-terjadi-di-sekolah/
http://sanggurukdb.blogspot.com/2014/02/pengertian-pendidikan-menurut-para-ahli.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar